Motif Batik Hidupku
“Cinta dan Benci itu berbeda
tipis, percaya deh”
Berawal dari sebuah pengumuman di Grup Facebook Kepanitiaan OSPEK Kampus tentang instruksi ketua pelaksana kepada seluruh panitia untuk berbatik di hari pertama OSPEK, itu kali pertama kata batik memenuhi kepala saya, betapa tidak kain khas Indonesia yang tidak pernah saya miliki saat itu, jangankan memilikinya, berkeinginan untuk tahu lebih jauh saja belum pernah terbetik di hati saya. Maka sejadi-jadinya saya pontang-panting setelah membaca post-an ketua pelaksana tersebut.
Kekesalan tidak berakhir di grup,
salah satu teman seangkatan saya yang juga panitia membuat status terkait batik, ada nada sedikit segan tersirat dalam
statusnya. Saya yang merasa senasib seperasaan langsung me-like dan
mengomentari status teman saya tersebut.
Tiffantiffa Seumur-umur
aku belum pernah pake batik, jangankan pake
punya aja engga. 2 menit yang lalu
Komentar saya itupun disambut
berbelas ‘like’ dari teman-teman yang juga ikut membaca status teman saya
tersebut, bebrapa di antaranya sesama panitia. Tiba-tiba muncul komentar dari
teman seangkatan saya yang lain.
Ardian Bratayudha. Weis,
ndak boleh begitu mbak2, batik itu harus
jadi kebanggaan kita, batik itu identitas
bangsa kita. Ayo Bangga Beratik. baru saja
Sontak kamipun kompak
mengomentari komentar teman kami dengan cengengesan. Teman kami yang satu ini
terkenal sekali batik holic, setiap hari
tidak ada hari tanpa batik, ia menjadi salah
satu bukti bagi kami bahwa batik menjadikan
pemakainya terlihat lebih tua. (padahal
memang sudah bawaan kali ya^^)
Panjang cerita, perdebatan di
status berujung pada perjanjian membeli batik
bersama. Maka dua hari kemudian bertemulah kami di pasar tempat biasa Ardian
membeli batik. Masih dengan setengah niat
saya dan teman saya mengikuti langkah Ardian menyingahi satu persatu toko batik. Sampai matahari menyentuh kulit bumi,
tidak satupun batik kami dapat, sebenarnya
bukan karena kita tidak menemukan, tapi tidak ingin menemukan. Maka Ardianpun
berjanji akan mengajak kami ke tempat Pamannya Sang Pengrajin batik pekan depan. Kamipun memajang wajah setengah
niat—tersenyum nyinyir—di depan Ardian.
(betapa niatnya orang ini mengenalkan batik
kepada kami)
“How Wonderfull Today”. Kalimat itulah yang mendarat di mulut kami saat melihat batik-batik tersusun indah di halaman rumah Paman
Adrian, angin menggoyangkan warnanya yang bervariasi, seperti balerina sedang
menari, indah. Bilhasil hari itu saya dan teman saya tersihir untuk membeli batik, tidak hanya satu guys, tapi berjibun. Otak bisnis kami sebagai mahasiswa fakultas
ekonomi dan bisnis terpanggil, kami bertiga sepakat untuk menjadi reseller batik, untuk percobaan Paman Adrian mau menitipkan
secara cuma-cuma batik-batiknya kepada kami atau biasa dikenal dengan
sistem konsinyasi. Pasar utama kami adalah panitia OSPEK beserta peserta.
Saat ini, bisnis batik kecil-kecilan kami masih berlanjut, tak
disangka batik yang dulu sangat asing bagi
saya menjadi salah satu pengantar saya menuju wisuda. Ya, melalui bisnis batik tersebut saya dapat menutupi kebutuhan
kuliah saya. Hingga suatu saat nanti, saya berharap bisnis batik ini tidak hanya berhenti di toko batik online saja tapi berbentuk sebuah kecintaan batik yang nyata, sebuah butik batik.