Hari telah
beranjak siang, rasanya hambar dan kadang saat aku menghadapi keadaan ini, aku
selalu merasa wajar jika mataku basah, ya, menangis, silahkan kalian menilaiku
cengeng, karena aku merasa seperti itu.
Tiba di jam
terakhir mata kuliah sejarah pemikiran Islam, teman di sebelahku mengajak
menemui tamu organsasi kami yang datang dari Palembang yang sedang dijamu di
Kantin Kampus, saat sedang mengobrol seorang teman satu organisasi memberiku
sekantong coklat, di luarnya sebuah kertas menempel bertuliskan “to ade si
maniak coklat”. Aku terbengong sebentar, bertanya, tamu organisasi kami
bertanya, “Ulang tahun ya?”, aku masih terbengong menggelengkan kepala. “Dari siapa ini?” masih memasang wajah
polos. Dia menjawab dengan senyum dan berkata “saya mau bikin kamu penasaran”.
Masih kebas hati
ini, aku tak tertarik memperpanjang soal itu. Masih merasa lelah setelah
perjalanan 18 jam Jogja Jakarta, dari sebuah pertemuan organisasi yang saya ikuti tingkat nasional. Satu-satunya
pertemuan yang aku menyesal mengikutinya. Kenapa? Karena inti dari kegiatan
tersebut sungguh tidak dapat aku rasakan, padahal banyak agenda yang aku
korbankan. Tepatnya aku menyesal terhadap pilihanku. Satu hal lagi yang masih
membuatku termenung adalah, usahaku untuk melayani teman-teman Jabodetabek
sebagai Penanggung jawab perjalanan acara tersebut, aku merasa banyak membuat
mereka kecewa. Itukah yang membuat hari-hariku hambar saat ini?
Apa yang biasanya engkau lakukan jika engkau merasa hambar?
Aku paling bingung jika sudah menghadapi ini, lebih baik aku
kelelahan karena sedikit waktu kosong dari pada aku bingung karena terlalu
banyak waktu kosong—buntu--, ekstrimnya seperti itu. Maka aku memutuskan untuk
menelpon beberapa teman. Kebetulan ada teman yang sedang aku rindukan, karena
beliau jarang muncul jadi “lenyap”, merasa tiba-tiba harus menelpon beliau
saja, walau aku tak tahu apa yang akan aku perbincangkan (jangan ditiru yah,
seorang muslim jelas harus punya tujuan).
Kau tahu, dalam satu tindakan saja aku dapat memecahkan dua
pertanyaan yang menggerayangiku sejak tadi—sebab kehambaran dan pengirim
cokelat yang baik hati itu--. Kau pasti bisa menebaknya, ya, benar, dia adalah
orang yang aku rindukan tadi.

*Untuk Ka Muna, semoga aku dapat
memiliki pabrik cokelat agar terus dapat memberimu tanpa mengingatnya
0 komentar:
Posting Komentar